MENANTI SOSOK GAJAH MADA BARU
(Alma’Arif)
Makna
pahlawan dalam arti luas yaitu orang biasa yang menjadikan dirinya luar biasa
dan berarti bagi bangsanya. Bung
Karno, Pak Harto, Habibie, Gusdur, Mba Mega dan SBY dulunya hanyalah seorang sosok yang biasa-biasa
saja yang kemudian bermetamorfosis menjadi seseorang yang luar biasa (from nothing to be something). Tentu
saja hal itu sangat berbeda dengan saya yang sekarang. Tahukah kalian bahwa
beratur-ratus tahun yang lalu sebelum terbentuknya Negara tercinta ini, dimana
sistem pemerintahan pada saat itu masih berbentuk kerajaan (oligarchy) yang terbagi kedalaam
beberapa kerajaan besar dan kecil seperti Majapahit, Gowa, Bone, Tidore dll
ternyata terdapat sesosok pria yang menjelma menjadi Pahlawan di bumi Nusantara
ini yaitu Gajah Mada.
Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma
mangrwa yang tercantum dalam kitab
Sutasuma karya Mpu Tantular menjadi
begitu penting untuk dimaknai bagi bangsa Indonesia saat ini. Lebih dari enam
abad yang lalu, Gajah Mada yang menurut saya seorang negarawan sejati telah
membuktikan keampuhan falsafah ini menjadi sebuah kekuatan spiritual untuk
membangun persatuan yang terbukti mampu membawa bangsa yang sangat heterogen
ini mencapai kejayaan yang sangat berwibawa dan disegani di mata dunia. Oleh
sebab itu, para founding fathers kita
yang cerdas telah membangun sebuah pondasi kuat bagi bangsa ini.
Gajah
Mada seorang Mahapati Majapahit dimana kerajaan ini yang menjadi cikal bakal
NKRI pada saat itu mampu memberikan kepercayaan yang sangat besar pada seluruh
rakyatnya untuk bersama-sama membangun rantai kepulauan yang sangat luas ini
mengingat wilayah kekuasaan Majapahit pada saat itu hingga selat Malaka dan
Tumasik (yang saat ini menjadi Negara Singapura). Tentu saja dalam pikirannya,
Gajah Mada harus membuat Amancanagara
(nama provinsi pada saat itu dipimpin oleh seorang Adipati) yang terpisah dari
Kerajaan induk bersatu dan dipersatukan oleh laut bukan sebaliknya. Melalui
konsep tersebut beliau dengan cerdas membangun sebuah kekuatan maritim yang
besar dan kuat Jaladilbala (sekarang AL) untuk mengawasi wilayah kekuasaannya.
Konsep pembangunan berbasis laut/perairan ini juga telah di paparkan oleh
Gubernur Sulawesi Utara pada Konvensi Partai Demokrat yang dikenal dengan konsep
blue economy.
Sebagai
contoh Gajah Mada menetapkan Selat Malaka sebagai Bandar Internasional saat itu
sebagai pintu gerbang transaksi perdagangan antara masyarakat Nusantara Raya
dengan masyarakat luar seperti Cina, India, Timteng,
dll sehingga perairan selat malaka ramai masuk dan keluar terbukti sangat aman
karena dijaga oleh Jaladibala yang sangat ditakuti saat itu karena memiliki
armada dan prajurit yang sangat tangguh di lautan. Keadaan sekarang, Indonesia
hanya memiliki dua markas angkatan laut yang hanya dibagi atas dua wilayah.
Wilayah timur bermarkas di Surabaya dan Wilayah Barat yang bermarkas di Jakarta
ditambah lagi dengan terbatasnya armada kapal perang AL di Indonesia yang harus
beroperasi menjaga wilayah NKRI di perairan. Tentu sangat memprihatinkan
melihat hal tersebut, jadi jangan heran bila disetiap berita Nelayan asing
dapat “seenak dewe” untuk menangkap ikan di perairan kita dan menyisakan
ikan-ikan kecil untuk orang Indonesia.
Namun
sayangnya, konsep Indonesia sebagai Negara maritim dianggap sebagai new concept sehingga pada rezim orde
baru pembangunan Indonesia menggunakan konsep Negara Agraris. Tentu saja
melalui konsep tersebut Indonesia telah berhasil swasembada pangan pada saat
itu dan akhirnya menjelang millenium ke-2 ini kasus impor beras, gula, bawang
merah hingga kedelai melanda dan “menjangkiti” tubuh Negara ini. Tanpa
menyalahkan rezim terdahulu, belajar dari kekeliruan sebelumnya Indonesia pada
saat sekarang harus berkaca kembali pada struktur wilayahnya sendiri dengan melakukan
pembangunan berbasis perairan. Bagaimana sebuah wilayah Majapahit yang bernama
Tumasik (Singapura), sekarang ini menjadi sebuah Negara maju dengan lokasi
startegis dengan menerapkan fee-endorcement
atas kegiatan perdagangan dunia. Pada rezim Habibie, pada tanggal 26 September
1998 beliau mengumumkan deklarasi yang popular kemudian dikenal dengan
deklarasi Bunaken, menyatakan bahwa sudah saatnya visi pembangunan dan
persatuan Indonesia beroirientasi ke laut. Sebagai contoh, melalui konsep
pembangunan terminal perdagangan dunia juga akan dibangun di ujung utara NAD.
Namun karena adanya intervensi asing, bagian utara NAD tiba-tiba “disulap”
menjadi resort-resort mewah dan restaurant yang nyatanya tidak dapat memberikan
“rasa” bagi perekonomian Indonesia (baca Kompas 13 November 1999).
Kestabilan
keamanan dan politik secara implisit mengandung muatan pemikiran yang mengacu
pada pengakuan atas berhasilnya konsepsi Keamanan dan Pertahanan baik didalam
maupun luar negeri yang diterapkan oleh Gajah Mada (baca: Gajah Mada sebagai konseptor hampir seluruh kebijakan di segala sektor)
secara utuh dan terorganisir. Beliau memberikan struktur dan komando yang jelas
terhadap job description antara
Angkatan Darat (Samatyabala), Badan Intelijen (Sandibala) dan Angkatan Laut
(Jaladibala) pada saat itu ternyata telah membuktikan adanya regulasi yang
sangat brilian, intelektual dan responsive terhadap perkembangan kemajuan
peradaban yang sustainable dan futuristik. Tentu hal tersebut menjadi
pertanyaan besar mengapa Majapahit yang memiliki luas lebih dari Indonesia
sekarang berhasil menjalankan pemerintahannya dengan baik sedangkan Indonesia
sekarang telah didukung dengan teknologi yang canggih?
Mungkin
anda pernah mendengar Negara ini dijuluki sebagai Macan Asia yang menggambarkan
besarnya pengaruh Negara ini terhadap Negara-negara tetangga seperti Malaysia,
Brunei, Birma, Kamboja dan Singapura. Hal tersebut sebelumnya jauh ditampilkan
oleh Gajah Mada dengan Majapahitnya yang sangat berpengaruh hingga di dataran Cina
pada era Kublai Khan. Tentunya tidak heran menjelang April 2014 banyak tokoh
dan partai politik yang mengatasnamakan tokoh terdahulu untuk mengikat hati
masyarakat. Tidak terlepas dari itu semua, bahwa semoga pada tahun ini sosok
Gajah Mada yang dibahas tadi akan muncul sebagai pemimpin selanjutnya, jangan
Gajah Mada hanya dijadikan sebagai Nama perguruan tinggi, toko buku bahkan
warung makan. Dengan demikian, kita harapkan negara kembali menjadi Indonesia
bertopeng Majapahit menjadi Negara yang disegani di asia tenggara, asia bahkan
dunia.