Senin, 20 Januari 2014

Menanti Sosok Gajah Mada Baru

MENANTI SOSOK GAJAH MADA BARU
(Alma’Arif)
Makna pahlawan dalam arti luas yaitu orang biasa yang menjadikan dirinya luar biasa dan berarti bagi bangsanya. Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Gusdur, Mba Mega dan SBY dulunya hanyalah seorang sosok yang biasa-biasa saja yang kemudian bermetamorfosis menjadi seseorang yang luar biasa (from nothing to be something). Tentu saja hal itu sangat berbeda dengan saya yang sekarang. Tahukah kalian bahwa beratur-ratus tahun yang lalu sebelum terbentuknya Negara tercinta ini, dimana sistem pemerintahan pada saat itu masih berbentuk kerajaan (oligarchy) yang terbagi kedalaam beberapa kerajaan besar dan kecil seperti Majapahit, Gowa, Bone, Tidore dll ternyata terdapat sesosok pria yang menjelma menjadi Pahlawan di bumi Nusantara ini yaitu Gajah Mada.
Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa yang tercantum dalam kitab Sutasuma karya Mpu Tantular menjadi begitu penting untuk dimaknai bagi bangsa Indonesia saat ini. Lebih dari enam abad yang lalu, Gajah Mada yang menurut saya seorang negarawan sejati telah membuktikan keampuhan falsafah ini menjadi sebuah kekuatan spiritual untuk membangun persatuan yang terbukti mampu membawa bangsa yang sangat heterogen ini mencapai kejayaan yang sangat berwibawa dan disegani di mata dunia. Oleh sebab itu, para founding fathers kita yang cerdas telah membangun sebuah pondasi kuat bagi bangsa ini.
Gajah Mada seorang Mahapati Majapahit dimana kerajaan ini yang menjadi cikal bakal NKRI pada saat itu mampu memberikan kepercayaan yang sangat besar pada seluruh rakyatnya untuk bersama-sama membangun rantai kepulauan yang sangat luas ini mengingat wilayah kekuasaan Majapahit pada saat itu hingga selat Malaka dan Tumasik (yang saat ini menjadi Negara Singapura). Tentu saja dalam pikirannya, Gajah Mada harus membuat Amancanagara (nama provinsi pada saat itu dipimpin oleh seorang Adipati) yang terpisah dari Kerajaan induk bersatu dan dipersatukan oleh laut bukan sebaliknya. Melalui konsep tersebut beliau dengan cerdas membangun sebuah kekuatan maritim yang besar dan kuat Jaladilbala (sekarang AL) untuk mengawasi wilayah kekuasaannya. Konsep pembangunan berbasis laut/perairan ini juga telah di paparkan oleh Gubernur Sulawesi Utara pada Konvensi Partai Demokrat yang dikenal dengan konsep blue economy.
Sebagai contoh Gajah Mada menetapkan Selat Malaka sebagai Bandar Internasional saat itu sebagai pintu gerbang transaksi perdagangan antara masyarakat Nusantara Raya dengan masyarakat luar seperti Cina, India, Timteng, dll sehingga perairan selat malaka ramai masuk dan keluar terbukti sangat aman karena dijaga oleh Jaladibala yang sangat ditakuti saat itu karena memiliki armada dan prajurit yang sangat tangguh di lautan. Keadaan sekarang, Indonesia hanya memiliki dua markas angkatan laut yang hanya dibagi atas dua wilayah. Wilayah timur bermarkas di Surabaya dan Wilayah Barat yang bermarkas di Jakarta ditambah lagi dengan terbatasnya armada kapal perang AL di Indonesia yang harus beroperasi menjaga wilayah NKRI di perairan. Tentu sangat memprihatinkan melihat hal tersebut, jadi jangan heran bila disetiap berita Nelayan asing dapat “seenak dewe” untuk menangkap ikan di perairan kita dan menyisakan ikan-ikan kecil untuk orang Indonesia.
Namun sayangnya, konsep Indonesia sebagai Negara maritim dianggap sebagai new concept sehingga pada rezim orde baru pembangunan Indonesia menggunakan konsep Negara Agraris. Tentu saja melalui konsep tersebut Indonesia telah berhasil swasembada pangan pada saat itu dan akhirnya menjelang millenium ke-2 ini kasus impor beras, gula, bawang merah hingga kedelai melanda dan “menjangkiti” tubuh Negara ini. Tanpa menyalahkan rezim terdahulu, belajar dari kekeliruan sebelumnya Indonesia pada saat sekarang harus berkaca kembali pada struktur wilayahnya sendiri dengan melakukan pembangunan berbasis perairan. Bagaimana sebuah wilayah Majapahit yang bernama Tumasik (Singapura), sekarang ini menjadi sebuah Negara maju dengan lokasi startegis dengan menerapkan fee-endorcement atas kegiatan perdagangan dunia. Pada rezim Habibie, pada tanggal 26 September 1998 beliau mengumumkan deklarasi yang popular kemudian dikenal dengan deklarasi Bunaken, menyatakan bahwa sudah saatnya visi pembangunan dan persatuan Indonesia beroirientasi ke laut. Sebagai contoh, melalui konsep pembangunan terminal perdagangan dunia juga akan dibangun di ujung utara NAD. Namun karena adanya intervensi asing, bagian utara NAD tiba-tiba “disulap” menjadi resort-resort mewah dan restaurant yang nyatanya tidak dapat memberikan “rasa” bagi perekonomian Indonesia (baca Kompas 13 November 1999).
Kestabilan keamanan dan politik secara implisit mengandung muatan pemikiran yang mengacu pada pengakuan atas berhasilnya konsepsi Keamanan dan Pertahanan baik didalam maupun luar negeri yang diterapkan oleh Gajah Mada (baca: Gajah Mada sebagai konseptor hampir seluruh kebijakan di segala sektor) secara utuh dan terorganisir. Beliau memberikan struktur dan komando yang jelas terhadap job description antara Angkatan Darat (Samatyabala), Badan Intelijen (Sandibala) dan Angkatan Laut (Jaladibala) pada saat itu ternyata telah membuktikan adanya regulasi yang sangat brilian, intelektual dan responsive terhadap perkembangan kemajuan peradaban yang sustainable dan futuristik. Tentu hal tersebut menjadi pertanyaan besar mengapa Majapahit yang memiliki luas lebih dari Indonesia sekarang berhasil menjalankan pemerintahannya dengan baik sedangkan Indonesia sekarang telah didukung dengan teknologi yang canggih?
Mungkin anda pernah mendengar Negara ini dijuluki sebagai Macan Asia yang menggambarkan besarnya pengaruh Negara ini terhadap Negara-negara tetangga seperti Malaysia, Brunei, Birma, Kamboja dan Singapura. Hal tersebut sebelumnya jauh ditampilkan oleh Gajah Mada dengan Majapahitnya yang sangat berpengaruh hingga di dataran Cina pada era Kublai Khan. Tentunya tidak heran menjelang April 2014 banyak tokoh dan partai politik yang mengatasnamakan tokoh terdahulu untuk mengikat hati masyarakat. Tidak terlepas dari itu semua, bahwa semoga pada tahun ini sosok Gajah Mada yang dibahas tadi akan muncul sebagai pemimpin selanjutnya, jangan Gajah Mada hanya dijadikan sebagai Nama perguruan tinggi, toko buku bahkan warung makan. Dengan demikian, kita harapkan negara kembali menjadi Indonesia bertopeng Majapahit menjadi Negara yang disegani di asia tenggara, asia bahkan dunia.